Satu Bahasa, Satu Bangsa, Satu Negara (Siri Perpaduan SSS No.5)

17 05 2010

Kami terbitkan semula sebuah artikel yang ditulis oleh Saudari Eunice Ong bertajuk (alih bahasa), “Kita, Yang Bukan Melayu” . Artikel ini telah diterbitkan di laman citra LoyarBurok di pautan ini:-

http://loyarburok.com/human-rights/why-you-can-human-rights/we-the-non-malays/

We, the Non-Malays

By Eunice Ong

(Ketuanan Pin Biru)

Revisiting the topic of Malay rights from one side of the fence but in view of all. Ketuanan Pin Biru We (and when I say we, I mean the non-Malays) often complain of the different privileges received by the different races. We condemn frequently organisations such as PERKASA, the “Ketuanan Melayu” mentality, and all the privileges that we see our Malay contemporaries get. We express disgusted disapproval of the inequality.

We whine that Malay is the national language and Islam is the national religion as opposed to our preferred language. Ah! We can also go on about how much sacrifice it is to go to a halal restaurant, because you have a Malay friend with the group.

So, one day say, the Prime Minister tells us that he has the mandate from the Malays and wants to negotiate a compromise. Mr. PM will ask of our dissatisfaction, and we will give him a long list: we want our children to be admitted to all public universities, we want to be given more business licenses, we want to either take away the Bumiputera discount or get the same discount, we want to be given the privilege to buy special shares so as to earn money, and the list goes on.

Mr. PM says, “Fine, we can come to a compromise and I can agree to at least half of your requests, but will you agree to give up vernacular schools and make our education system a one-school system?” Funnily enough, before he can explain how the individual vernacular language will be taught as an elective subject in all schools (private or public) and that it will eventually delete one of the many causes of racial disunity, the strongest protesters of that proposal will be the same persons who claim injustice in the first place.

If change is indeed a goal, there are sacrifices we have to make. We can argue until the cows come home that we are giving up our right to learn our mother tongue and our roots, but we are Malaysians and it is about time we should start acting like Malaysians. Our roots are all here in Malaysia, not in China or India. Do we really expect them to give up what they have been enjoying for more than five decades in the name of change without us making an effort at the same time? If we do, how then can we advocate for fairness?

As many would remember telling me in their wisdom to look at the big picture, and the big picture here is that giving up vernacular schools will mean lesser racial disunity. The usual trend is that the cliques are racial based and that barrier is language. Really, be honest, you would have used the excuse of not being able to have more friends of other races because of language. I have that problem.

The big picture is that if we can accept each other, we can learn from each other and the troubling PERKASA will not exist to protect the rights of the Malays.

The big picture is that there is hope for change.

Komentar

Apa yang dituliskan oleh Saudari Eunice Ong itu memang ada kebenarannya. Inilah semangat saling memahami dan bertolak ansur yang amat penting untuk dihayati bersama demi keharmonian hidup sesebuah masyarakat yang berbilang kaum. Kita semua adalah berbilang kaum, tetapi bangsa kita hanyalah satu, iaitu Bangsa Malaysia.

Ingin kami tekankan sekali lagi bahawa Bangsa Malaysia bercirikan kebudayaan berbilang kaum, di manakebudayaan Melayu menjadi terasnya. Seperti juga bahasa. Walaupun kita mempunyai pelbagai bahasa pertuturan, tetapi kita rakyat Malaysia sepatutnya hanya menggunakan Bahasa Malaysia apabila berkomunikasi sesama sendiri dalam segenap urusan seharian. Kita menggunakan bahasa Inggeris, bahasa kedua kita, apabila berkomunikasi dengan bangsa-bangsa asing yang lain yang tidak menguasai Bahasa Malaysia.

Moga-moga suatu hari nanti, seluruh rakyat Malaysia akan menggunakan Bahasa Kebangsaan (iaitu Bahasa Malaysia) sepenuhnya termasuklah juga penggunaan seharian sewaktu berada di rumah masing-masing. Kita rakyat Malaysia, sepatutnya fasih dalam kedua-dua bahasa ini, iaitu Bahasa Kebangsaan dan Bahasa Inggeris. Ini tidak bermakna bahasa ibunda akan diketepikan langsung. Kita wajar mengekalkan bahasa-bahasa ibunda ini bagi tujuan adat resam, tradisi dan juga menguasainya mengikut pilihan masing-masing sebagai bahasa ketiga, keempat dan seterusnya. Bukannya sekali-kali meletakkan bahasa ibunda ini mengatasi kedudukan Bahasa Kebangsaan kita dalam urusan seharian, apatah lagi dalam urusan rasmi.

Dalam konteks inilah, ianya menjadi salahsatu tujuan kami untuk melancarkan Kempen Satu Sekolah Untuk Semua. Bukan untuk menghapuskan sekolah vernakular, tetapi, berusaha agar sekolah vernakular dapat diserapkan atau dinaikkan taraf sehingga ianya mempunyai ciri-ciri sebuah sekolah kebangsaan dengan sepenuhnya.  Pada hari ini sekolah-sekolah vernakular mengutamakan bahasa asing sebagai bahasa pengantar, bukannya Bahasa Kebangsaan. Bahkan ada sekolah-sekolah vernakular yang membelakangi terus Bahasa Kebangsaan. Ini menjejaskan semangat nasionalisma dan perpaduan di kalangan warga Malaysia.

Kami juga tertarik dengan semangat Malaysia yang dipaparkan oleh seorang pengunjung, Saudari Sarita Sharma, yang kami petik seperti berikut:-

Its sad to see people getting so defensive. Look Eunice is correct. The buck has to stop somewhere. Why not with you? You claim you are Malaysian but you condemn and critise your country to no end saying its been unfair and discriminating. Yet you do the same thing your country does albeit on a micro level. You prefer to have friends who speak the same language, you prefer to work with people who speak the same language, you prefer people who share the same religious beliefs etc. No one is saying the country is perfect but get this the country is yours. What you do affects your country. You start sending your kids to national schools and only national schools, get them to mix around with their fellow Malaysians freely, will there be discrimination when your children become leaders of tomorrow? Definitely not. Why? Because they learned to mingle.

Tanpa mengulas panjang, kami serahkan kepada para pembaca untuk menilai sendiri semangat nasionalisma yang dipamirkan oleh Saudari Sarita Sharma ini, sebagaimana juga semangat yang ditonjolkan oleh Saudari Eunice Ong.

Tapi walaubagaimanapun, masih terdapat ramai di kalangan mereka-mereka yang mengaku sebagai rakyat Malaysia hanya pada mulut, sedangkan tingkah laku serta semangatnya langsung tersimpang jauh dari Malaysia. Kita lihat sahajalah komen-komen yang diberikan oleh orang-orang seumpama ini apabila saja ada seruan kearah “Satu Bahasa, Satu Bangsa, Satu Negara”. Mereka-mereka ini sengaja menimbulkan pelbagai alasan dan kerenah sehingga mengundang komen balas yang senada, yang mempertahankan kedaulatan Bahasa, Bangsa dan Negara ini.

Tepat sekali seperti kata Saudari Eunice Ong:-

“…the strongest protesters of that proposal will be the same persons who claim injustice in the first place…”

dan Saudari Sarita Sharma :-

“…The buck has to stop somewhere. Why not with you?…”

Pemberi komen yang mengunakan nama “victor” dan juga yang lain-lain yang serupa pendiriannya dengan “victor” ini, merungut kononnya dia didiskriminasikan. Kalau si “victor” ini sendiri bercakap bahasa asing di bumi Malaysia ini, kenapa pula merungut dan menyalahkan orang lain konon dia di diskriminasikan? Bukankah dia sendiri yang mengasingkan dirinya, tidak mahu bercampur gaul dan asyik menggunakan pakai bahasa asing di bumi Malaysia ini saban hari dia menjejak kaki di sini?

Siapa yang mendiskriminasikan siapa?

Advertisement